Rabu, 26 Mei 2010

Maharani

by : Inggrit Maylinda


Suasana pagi kota Palembang yang dingin, gerimis yang tak kunjung berhenti, menghantarkan Ravi menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan dipimpin seorang ulama kami membacakan doa yang mengiringi proses pemakamannya.
“Kenapa kamu meninggalkan Rani, Vi ? Kamu udah janji mau mendampingi Rani seumur hidup. Kenapa kamu mengingkarinya, Vi. Jawab Vi, kenapa kamu diam aja ?”
Ayah menepuk pundakku, “Ran, kamu harus tabah ya ! Ravi udah pergi untuk selamanya. Kita harus mengikhlaskannya agar dia tenang di alam sana.”
“Ini semua karna ayah, andai saja ayah tidak mengusir Ravi pergi, pasti Ravi saat ini masih hidup.”
“Ini semua adalah takdir, sayang. Kita harus menerimanya dengan lapang dada.” Hibur ayahku.
“Bagaimana Rani bisa tabah. Seandainya Ayah mengizinkan kami menikah pasti Rani ngga akan kabur, sehingga kejadian ini tentu tidak akan menimpa kami dan pasti saat ini Ravi masih hidup.”


Sebulan telah berlalu sejak kepergian Ravi, saat ini kondisiku jauh lebih baik dan aku juga sudah berdamai dengan keluargaku maupun keluarga Ravi Aku teringat kembali saat peristiwa naas itu terjadi.
“Rav, Rani hamil. Rani harus bagaimana, Rani gugurkan bayi ini atau tetap kita pertahankan ?”
“Kamu bicara apa, yang. Melakukan hubungan di luar nikah aja kita udah dosa, jangan kamu tambah dengan dosa karna membunuh bayi itu. Aku akan bertanggung jawab, aku akan menikahimu.” Jawabnya tegas.
Aku memeluknya, “Lalu bagaimana dengan sekolah kita ? Dan bagaimana dengan keluarga kita ?”Aku bertanya padanya dengan gusar.
Ravi membelai rambut panjangku, “Kamu bisa cuti dulu, sedangkan aku akan tetap sekolah agar aku bisa lulus dan dapat mencari pekerjaan untuk menafkahi kamu.Sebaiknya sekarang kita ke rumahmu dan aku akan melamarmu.”
Aku menatapnya dan kembali memeluknya. Lalu kami pergi ke rumahku untuk menemui ayahku. Ravi berbicara pada ayahku tentang kehamilanku dan niatnya untuk bertanggung jawab. Tapi niat itu langsung ditolak mentah-mentah oleh ayahku.
”Bagaimana kamu akan memberi makan putriku jika kamu sendiri masih sekolah, apa cinta yang kamu punya dapat mengenyangkan anakku dan mencukupi kebutuhannya ?” Jawab ayahku penuh emosi.
“Ayah jahat, Ravi kesini untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya pada Rani. Apa ayah mau bayi Rani lahir tanpa ayah. Apa kata orang nanti bila Rani melahirkan tanpa suami, yah.”
Ayah menamparku, “Jangan coba-coba menceramahiku, kamu yang harus berpikir, apa kata orang bila anak SMA seperti kamu sudah kami nikahkan.”
Bunda mendekati dan memelukku, “Ayah tolong jangan main tangan, dia kan anak kita.” Ucap Bunda sabar.
“Itulah akibatnya jika kamu terlalu memanjakan dia, dia jadi kurang ajar. Dia telah mencoreng kehormatan keluarga kita. Ayah mau jawab apa kalau ditanya, kenapa Ayah sudah menikahkan Rani padahal Rani belum lulus SMA, mau ditaruh dimana mukaku ini. Ravi, kalau kamu sayang sama Rani, pergi dan tinggalkan kehidupan kami jauh-jauh !”
“Ayah jahat, kalau ayah mengusir Ravi, Rani akan ikut Ravi pergi dari sini.”
“Jangan harap kamu bisa pergi dari sini, Bunda, bawa Rani masuk ke kamarnya dan kunci pintunya.”
“Ayah tidak bisa begitu. Ayah tidak bisa melarang Ran pergi, Ran sudah besar, Yah. Rani mohon biarkan Rani terus berada disamping Ravi !”
Ayah mengusir Ravi keluar dari rumahku. Aku menjerit sekencang-kencangnya tapi Ayah tidak menghiraukanku karena Bunda sudah memaksaku memasuki kamarku dan menguncinya dari luar lalu kunci itu diberikan kepada ayahku. Tapi Ayah salah, cinta bisa melakukan apa saja.
Aku menelphon HP Ravi, “Rav, bawa Rani keluar dari sini ! Aku dan bayiku ngga bisa hidup tanpa kamu, Rav.”
“Bagaimana bisa aku membawa kamu, sedangkan kamu dikurung di rumah ?”
“Rani akan keluar lewat jendela, tapi kamu harus jemput Ran sekarang juga ! Aku takut ketahuan Ayah.”
“Apa cara ini bisa dianggap benar. Inikan berarti aku membawa kabur anak gadis orang ?”
Aku mulai menangis lagi, “Tidak ada cara lain lagi, atau kamu tidak ingin hidup bersamaku ?”
“Bukan begitu, hanya saja aku merasa cara ini tidak pantas kita lakukan. Kita bisa terus memohon pada Ayahmu, pasti suatu saat hatinya akan melunak.”
“Rani sangat mengenal Ayah, sampai kapanpun ia tidak akan mengijinkan kita bersama. Kumohon bawa Rani pergi dari sini, atau Rani akan pergi sendiri dari rumah ini.”
“Oke aku jemput, kamu tunggu aja di jendela kamarmu !”
Ravi menjemput dengan motornya 15 menit setelah ku telephone, dia menungguku di dekat jendela kamarku. Rintik-rintik gerimis menghantarkan kepergianku dari rumah. Deru motor yang dipacu sangat cepat dalam siraman hujan membuat motor Ravi kehilangan keseimbangannya membuat motor menjadi oleng dan akhirnya menabrak beton pembatas jalan. Motor itu lalu terbalik dan melemparkan aku dan Ravi ke trotoar. Badanku sakit dan terasa remuk, aku lalu menghampiri Ravi, kulihat genangan darah membasahi wajahnya. Aku berusaha membangunkannya tapi ia tidak bergeming sedikitpun, aku terus mengguncangkan badannya sampai penglihatanku kabur dan aku tergeletak pingsan. Ravi telah pergi meninggalkan dunia bersama bayi yang sedang kukandung. Hujan yang turun dengan derasnya menghantarkan kepergian Ravi dan bayiku.
“Rani, kamu dengar ucapan Ayah barusan tidak ?”
“Maaf, Yah, tadi Ayah bicara apa ? Rani tidak dengar.”
“Bagaimana kamu bisa mendengar, kamu sedang melamun. Apasih yang sedang kamu lamunkan, kok serius sekali melamunnya. Bukan melamun yang jorok-jorok kan ?” Tanya Ayahnya ragu.
“Ya enggaklah, Yah. Rani sedang memikirkan Ravi.” Aku tertunduk lesu, tanpa sadar air mataku mulai mengalir dengan sendirinya.
Ayahnya menatap dengan iba dan memelukku, “Kamu kangen sama Ravi ya ?”
“Rani menyesal, Yah. Kalau saja Rani mendengarkan perkataan Ayah, pasti Ravi masih hidup sampai sekarang.”
Bunda lalu ikut memelukku dan Bundapun ikut menangis, “Kamu ngga boleh berpikiran begitu, ini adalah takdir dan kamu tidak bisa merubah takdir itu. Mungkin ada hikmah yang bisa kita ambil dari kejadian ini. Bunda mohon kamu jangan sedih terus, kalau kamu sedih Ayah dan Bunda juga akan ikut sedih.”
“Lagipula kalau kamu terus meratapi kepergian Ravi, dia ngga akan tenang ninggalin dunia ini. Kamu mau itu terjadi sama dia. Ayah yakin, kamu pasti bisa mengatasi masalah ini dan akan mendapat pengganti Ravi di hati kamu. Iyakan Bunda ? Kamikan melahirkan anak yang sangat hebat dan penuh ketabahan. Jadi tersenyumlah, minimal tersenyum untuk Ravi.”
“Makasih ya, Yah. Eh Yah, kita punya rumah di Bandung kan Yah?”
“Iya memang kenapa, kamu mau liburan kesana ?”
“Ngga, bulan depankan Ran udah ujian kelulusan, Ran mau nerusin kuliah di Bandung, bolehkan Yah ?”
“Ke Bandung, tapi bulan depan Ayah dipindahkan ke Jakarta bukan ke Bandung.”
“Rani tahu, tapi Rani ingin nerusin kuliah di fakultas kedokteran di Unpadj Bandung habis kata temen-teman Rani Unpadj adalah universitas yang bagus loh, Yah.”
“Di Jakarta juga ada UI yang menjadi universitas nomor satu di Indonesia. Apa kamu ngga mau masuk sana ?”
“Ngga, Yah, kalau Rani masuk sana akan mengingatkan Rani sama Ravi. Cita-cita diakan mau masuk UI. Lagian kalau Rani tinggal di Bandungkan cuacanya sejuk ngga panas kayak di Jakarta. Rani akan pulang tiap Sabtu dan Minggu deh, jarak dari Bandung ke Jakartakan deket, 2 jam naik mobil juga sampai.”
“Berarti Ayah harus beliin kamu mobil dong ?”
“Iya dong, Yah. Masa udah kuliah masih naik angkot sih.”
Bunda mengelus rambut panjangku, “Ye… bilang aja mau minta mobil, ngga usah muter-muter gitu ngomongnya. Tapi kalau Bunda terserah kamu aja mau kuliah dimana, asal kamu serius Bunda pasti setuju.”
“He..he..he.. iyasih intinya Rani minta dibeliin mobil. Tapi Bunda serius memberi izin Rani kuliah di Bandung ? Bunda udah ngizinin, Yah, masa Ayah ngga memberi izin sih.” Rayuku manja pada Ayah, aku memang selalu merayu Ayah kalau aku mau minta sesuatu.
“Iya Ayah izinkan, tapi dengan syarat kamu harus serius kuliah ! Bikin Ayah dan Bunda bangga sama kamu.”
“Makasih ya, Yah “
Bunda cemberut, “Sama Bunda ngga ?”
Aku memeluk Bunda, “Terutama sama Bunda.”

~ *** ~

Hari ini adalah hari kelulusanku sebagai murid SMA. Aku senang karna prestasiku tidak turun. Aku tetap menjadi juara umum karna nilai ujianku tertinggi di SMA ku. Ayah dan Bunda memberi ucapan selamat dengan mencium kedua pipiku. Setelah nilai ujianku keluar dan aku sudah mengurus surat kepindahanku, aku langsung berangkat ke Jakarta, ketempat tinggal orang tuaku sekarang. Aku ngga ikut upacara kelulusan dan malam Prom Night di sekolahku. Dulu, aku selalu membayangkan merayakan kelulusan bersama Ravi dan akan pergi ke Prom Night bersamanya. Tapi kini sudah ngga mungkin lagi mewujudkannya.

Dear teman-temanku,
Maaf Rani langsung pergi ke Jakarta begitu saja tanpa memberi kabar pada kalian. Bukannya Rani ngga inget sama kalian, Rani sangat menyayangi kalian kok. Rani harus pergi diem-diem, karna jika Rani memberitahu rencana Rani pada kalian, kalian pasti berusaha mencegah kepergian Rani, minimal sampai upacara kelulusan atau Prom Night. Rani tidak ingin ikut upacara kelulusan, pasti kalian semua mengetahui alasan Rani tidak mau ikut kan ? Dulu Rani selalu berharap akan pergi ke Prom Night bersama Ravi, harapan inilah yang membuat Rani sakit dan mengingat kembali Ravi.
Padahal kalian tahu bahwa selama dua bulan ini Rani berusaha untuk tidak memikirkan ( bukan melupakan ) Ravi, karna saat Rani memikirkannya Rani akan terus merasa bersalah dan bertanggungjawab atas kematiannya. Walaupun Ayah dan Bunda bilang itu bukan kesalahan Rani, melainkan takdir, tetap saja Rani merasa bersalah. Kalau saja waktu itu Rani tidak memaksa membawa Rani kabur dari rumah, pasti saat ini dia masih hidupkan ?
Mungkin kapan-kapan kalian bisa mengunjungi Rani di Jakarta atau di ITB Bandung, Rani kemarin mengajukan PMDK kesana dan ternyata lulus. Rani akan selalu menunggu kedatangan kalian, pintu rumah Rani akan selalu terbuka untuk kalian. Walaupun Rani akan mendapatkan teman-teman baru, tapi percaya deh, Rani ngga akan pernah melupakan kalian malah Rani akan selalu mengingat persahabatan kita sampai tua ( wah… bisa buat bahan cerita yang seru buat cucu Rani nanti nih ).
Mungkin segini dulu surat yang bisa Rani kirim ke kalian, Rani lagi sibuk beres-beres. Salam buat yang lain ya ! Sampai kapanpun Rani akan selalu menganggap kalian sahabat sejati dan Rani ngga akan pernah melupakkan apa aja yang pernah terjadi selama kita sahabatan. Aku tunggu kalian di Jakarta atau di Bandung, terserah kalian mau datang kemana yang penting kalian harus datang minimal setahun sekali, oke ? Bye …I Miss U Forever

Aku membaca kembali surat yang kubuat, lalu aku kirimkan ke alamat sekolah. Maaf teman-teman mungkin kalian menganggapku pengecut, karna aku lari dari masalah. Tapi hanya cara inilah yang efektif untuk membangun mentalku kembali. Mungkin akan sulit untuk mencari pengganti Ravi, tapi seperti kata Ayah, pasti suatu saat aku akan bertemu dengan orang yang dapat menggantikan posisi Ravi di hatiku.

~ *** ~

Sebenarnya setibanya di Jakarta aku langsung merapikan barang bawaanku ke kamar baruku. Ternyata tetanggaku adalah mitra bisnis Ayahku, Pak Suseno, dia teman Ayahku sekaligus pemasok bahan dasar untuk perusahaan Ayahku. Ayahku bekerja sebagai Direktur Jasa Kontruksi Bangunan. Sebenarnya setelah beres-beres aku ingin mengurus persiapan kuliahku di Bandung, tapi Ayah dan Bunda terus memaksaku untuk ikut liburan ke Bali. Aku tahu mereka sayang padaku sehingga mereka berusaha menghiburku agar aku tidak terlalu mengingat Ravi, jadi akhirnya aku menyerah pada bujukan mereka.
“Nah, gitu dong. Kitakan juga butuh refresing, lagian kamu ngga akan nyesel deh soalnya tempatnya bagus banget dan juga disana banyak cowo-cowo ganteng. Menyelam sambil minum air, liburan juga sekalian ngeceng.”
“Bunda nih, becanda aja. Iya, Rani ikut deh.”
“Nah gitu, masa kamu mau jadi fosil di Jakarta. Bukan cuma kita aja loh yang liburan ke Bali, Ayah juga ngajak Pak Suseno dan keluarga untuk ikut bersama kita”
“Eh Bunda denger, anaknya Pak Suseno ganteng loh, dan diajuga kuliah di Unpadj Bandung juga, mahasiswa fakultas kedokteran. Wah, kok bisa kebetulan kayak gini sih ?”
“Bunda, aku lagi ngga tertarik buat berhubungan serius dengan cowo ah.”
Papa menoleh kearahku, “Masa ………”
Inggit memelototi papanya, “Papa … apaan sih. Ikut-ikut aja.”
“Kamu boleh ngomong begitu sekarang, tapi liat aja nanti setelah kamu bertemu dia. Dia tuh ganteng banget dan pinter, IP nya selalu tertinggi di Unpadj fakultas kedokteran. Kalo Bunda belum punya suami, udah Bunda kecengin dari kemarin.”
“Bunda ganjen ih.”
“Biar, namanya siapa, Yah ? Bunda lupa.”
“Kalau ngga salah sih, Christian Wardhana. Tapi dia biasa dipanggil Chris.”
“Chris … sok bule banget sih dia”
“Kamu tuh ya, bisanya cuma ngeledekin orang aja. Awas ya kalau naksir sama dia, kamu harus bayarin Ayah dan Bunda Honeymoon ke Eropa ya ?”
“Huh, maunya. Tapi kita liat aja nanti siapa yang bakalan bayarin ke Eropa. Bunda, gimana kalau sekarang kita belanja buat persiapan liburan sekalian beli keperluan Rani buat kuliah, termasuk beli mobil baru buat Rani loh, Yah.”
“Sipp … ayo kita berangkat.”
Akhirnya aku, Ayah, dan Bunda pergi ke Plaza Indonesia untuk shoping. Saat di PI aku memisahkan diri dari Ayah dan Bunda. Mereka ketempat pakaian aku pergi ke counter HP. Saat itulah aku melihat sesosok laki-laki tampan yang wajahnya menyerupai wajah … Ravi … Aku mengejarnya, karna aku tidak tahu namanya, jadi aku ngga bisa memanggilnya. Aku berusaha mengejarnya, tapi dia menghilang memasuki kepadatan pengunjung Mall. Entah karena aku shock karna bertemu seseorang yang mirip Ravi atau karna aku belum makan sedikitpun sejak pagi, pandanganku kabur dan mataku seperti berkunang-kunang, lalu aku memejamkan mata … pingsan. Saat aku sadar, aku sudah berada di tempat tidurku dan kepalaku terasa mau pecah. Aku ngga ingat apa yang telah terjadi, yang aku ingat hanya aku bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Ravi. Tapi mungkin itu cuma mimpi. Baru kusadari Ayah dan Bundaku tertidur disamping tempat tidurku. Ternyata aku pingsan selama 7 jam. Bunda tersadar ketika aku berusaha mengambil minum di meja rias dekat Bunda.
Bunda memanggil Ayah, “Ayah cepat sini, Rani sudah siuman.”
“Bagaimana kondisi kamu ? Sudah mendingan ? Kamu kenapa sih ? Memisahkan diri dari kami dan langsung pingsan. Untung tadi ada anaknya Pak Suseno, dia yang nolongin kamu loh, kamu harus berterimakasih sama dia nanti !”
“Tadi Rani ketemu orang yang mirip Ravi, lalu Rani mengejarnya tapi Rani kurang cepet karna dia langsung berbaur dengan pengunjung lain.”
Ayah terlihat sangat marah, “Mau sampai kapan kamu mikirin dia, gara-gara dia, kami hampir kehilangan kamu di Mall. Kalau tidak ada Chris, mungkin kami tidak bisa bertemu lagi denganmu. Kamu tahu itu, Ayah ngga mau tahu pokoknya kamu harus melupakan Ravi, dia bisa membuat kamu gila.” Ayah pergi dari kamarku dengan muka yang penuh amarah.
Bunda mencoba menenangkanku yang mulai terisak, “Maafkan Ayahmu, dia sangat cemas saat menyadari kamu tidak ada di samping kami. Percaya deh Ayah berniat baik sama kamu, kamu boleh mikirin Ravi tapi jangan kelewatan seperti ini.”
“Iya Bunda, Rani tahu Rani salah. Nanti Rani mau minta maaf sama Ayah.”
Suasana makan malam sangat hambar dan dingin, kami semua makan dalam diam.aku merasa suasana mulai tenang, aku berusaha mencairkan suasana.
“Ayah, Rani minta maaf. Rani janji Rani ngga akan mikirin Ravi berlebihan. Rani hanya akan mengingat Ravi dalam hati. Rani janji ngga akan melalaikan kewajiban Rani karna terlalu memikirkan Ravi. Tapi jangan suruh Rani untuk melupakan Ravi !”
“Ayah juga minta maaf, bukan maksud ayah untuk melukai hati kamu. Tapi Ayah sedih melihat kondisi kamu yang terlalu menyayangi Ravi. Ayah takut kamu jadi lemah dan melalaikan kewajiban kamu. Kamu boleh nginget-nginget Ravi sesuka kamu, tapi tolong jangan perlihatkan muka sedih kamu pada kami. Kami bingung ketika melihat wajah kamu yang sedih. Kami jadi merasa bersalah pada kamu.” Ayah memelukku dengan hangat.
“Ayah tadi bilang apa, yang nyelametin Rani namanya Chris. Chris siapa, Yah?”
“Chris yang kamu bilang sok bule itu loh”
“Maksud Bunda, Chris anaknya Pak Suseno ?”
“Iya.”
“Baik juga tu orang.”
“Hus… kamu kok ngomongnya gitu. Kalau ngga ada dia pasti kamu udah dibawa orang jahat.”
“Ah Ayah paranoid nih, tapi nanti Rani tetep akan mengucapkan terima kasih sama sok bule itu.”
“Huh dasar, kamu tuh ada-ada aja manggil nama orang.”
“Kalau begitu nanti, kamu anterin kue brownis buatan Bunda kekeluarga Suseno !”
“Oke Bunda, asal ada jatah brownis buat aku aja.”
“Iya, kamu sekarang udah baikan kan ? Setelah anterin brownis lebih baik kamu pergi main naik sepeda keliling kompleks, lumayan loh bisa bikin badan seger.”
“Iya deh. Ayah, Bunda, Rani minta izin ya mau main ?”
“Iya, tapi pulangnya jangan malem-malem ya !”
“Oke bos.”

Aku berkeliling komplek baruku, ternyata komplek disini luas banget dan memiliki fasilitas yang sangat komplit. Ada kolam renang, ada lapangan dari lapangan bola, basket, voli, kasti, tennis, sampai golf, pokoknya komplit banget deh. Ternyata keliling naik sepeda bikin cape juga yah, aku berhenti disebuah warung tenda di pinggir jalan untuk istirahat dan membeli air minum.
“Misi … Mba pesen apa ?”
“Teh botol satu aja deh Pak.” Aku menjawab pertanyaan Bapak itu sambil mengambil teh botol yang tinggal satu itu. Tapi saat aku mau mengambil, ternyata ada sepasang tangan kekar yang memegang teh itu juga. Aku lalu mendongak menatap pemilik tangan tersebut. Aku terperangah, wajah dihadapanku begitu tampan tapi bukan itu yang membuatnya terkejut. Laki-laki itu yang berusaha kukejar saat di Mall karna wajahnya mirip Ravi.
Aku dan dia sama-sama melepaskan teh itu dan menyimpannya kembali ke mesin pendingin. “Sampe kapan lo mau ngeliatin muka gue ? Lo naksir sama gue ya ?” Ucapnya dengan wajah sengak.
“Geer banget sih lo.”
“Abis, lo ngeliatin gue kayak orang yang terpesona melihat tampang ganteng gue. Tapi gue udah biasa kok dengan wajah cewe-cewe yang terpesona dengan ketampanan gue ini.”
“Weits … jadi orang jangan kegeeran deh. Lo emang cakep tapi kayaknya kelakuan lo minus tampang lo ya ?”
“Eh songong banget sih lo. Belum ada cewe yang berani ngomong gitu sama gue tau.”
“Ya, bagus deh. Biar lo sadar dengan kelakuan minus lo itu. Lagian ngapain lo ngambil teh botol itu, kan gue duluan yang megang teh itu.”
“Seenaknya lo ngaku-ngaku, ketauan gue dulu yang megang baru tangan lo.”
“Ketaun gue dulu baru lo.”
“Ketauan ditangkep polisi, tau.” Sesaat suara itu menghentikan perdebatan ku dengan laki-laki itu.
“Apa maksudnya ?” Tanya laki-laki itu.
“Maksud gue, kalo ketahuan ya bakal ditangkep polisi.”
“ Emang lo siapanya dia, ikut campur aja ?” Tanyaku.
“Gue bukan siapa-siapa kalian kok, kenal aja ngga sama kalian. Gue Cuma mau bilang teh botolnya udah gue ambil dan gue minum jadi kalian ngga usah rebut lagi deh, percuma.”
“Hah ……” desahku berbarengan dengan laki-laki itu
Aku lalu pergi meninggalkan warung itu dengan penuh amarah, kok ada sih laki-laki kayak gitu. Ngga mau ngalah banget sih sama cewe. Tampangnya dia sih emang cakep dan mirip banget sama Ravi bahkan cowo itu lebih cakep disbanding Ravi, tapi kelakuannya ngga mirip sama sekali karna perilaku cowo itu sungguh jelek. Lalu aku pulang dengan tampang BT sampai-sampai Ayah dan Bunda bingung melihat aanaknya. Habis olahraga tampangnya bukan seger malah sepet kayak gini.
“Kamu kenapa. Abis olahraga kok malah cemberut gitu ?”
“Kamu ngga dikejar anjing kan ?”
“Ayah nih becanda aja, Rani lagi kesel sama cowo.”
Ayah dan Bunda langsung bengong. “Cowo .......”
“Iya, cowo itu nyebelin banget deh. Tadi Rani berantem sama dia pas sama-sama ngambil teh botol yang tinggal satu itu, dia ngga mau ngalah sedikitpun sama cewe, ngga gentle banget sih. Pokoknya Rani sebel banget sama cowo itu.”
Ayah dan Bunda tersenyum, “Wah, bisa barengan begitu ya ? Jangan-jangan dia jodoh kamu lagi ?”
“Ayah nih becanda aja, emang sih cowo itu ganteng banget tapi kelakuannya minus.”
“Jangan gitu, nanti kamu suka lagi sama dia. Kata orang perbedaan benci sama cinta itu cuma setipis kulit bawang loh.” Goda Bunda.
“Bunda nih, bisanya cuma ngeledekin Rani aja. Rani ke atas aja deh, Rani mau mandi badan Rani gatel banget nih.”
“Mandi yang bersih ya.”
“Iya, abis itu Rani mau tidur, jangan dibangunin sampe besok pagi ya !”
Saat ini aku lagi mikirin kejadian tadi siang. Sebenarnya dia cukup ganteng kok, seandainya saja kelakuannya ngga minus, dia bisa jadi cowo yang sempurna untuk jadi pujaan para cewe. Eh kok, aku jadi mikirin dia sih. Bodo amat, mau dia sempurna kek mau dia ancur kek, apa urusannya sama aku. Aku pikir-pikir, dia makin jauh beda sama Ravi deh. Mungkin aku kemarin lagi kangen aja sama Ravi, jadi pas ngeliat cowo minus itu aku kayak liat Ravi. Iya, pasti begitu.

Keesokan harinya aku dibangunkan Bunda jam 6 pagi. Hari ini kami liburan ke Bali bareng keluarga Suseno dan si sok bule itu.
“Kayak gimana sih yang namanya Chris ?” desahku penasaran.
“Ya kayak gini.” Jawab seseorang disampingku.
“Hah … lo yang namanya Chris ?”
“Kalau di KTP gue belum ganti sih, nama gue masih tetep Christian Wardhana atau yang biasa dipanggil Chris.”
“Kalau lo namanya Chris, berarti lo yang nolongin gue kemarin pas di Mall.”
“Yup, tepat. Apa nolongin orang juga perbuatan minus.”
“Ya enggaklah, tapi perbuatan lo kemarin itu yang minus.”
“Kenapa minus, gue haus jadi gue ambil deh itu teh botol.”
“Karna lo ngga mau ngalah sama cewe, harusnya kalo hal itu terjadi lo ngalah dong sama cewe.”
“Kenapa gue harus ngalah sama cewe, di warungnya aja ngga ada bacaan kayak gitu.”
“Lo ngga pernah denger istilah La …”
“Apa ? Ladies first. Basi banget sih mau minum aja mesti pake istilah. Lagian kenapa juga cowo harus selalu ngalah sama cewe kenapa ngga cewe aja yang ngalah sama cowo.”
“Lo tuh nyebelin banget sih.”
“Eh kok gue, bukannya lo yang ngeselin.”
Ayah dan Bunda yang baru datang bingung melihat anaknya sedang adu mulut dengan anak patnernya. “Ran, ada apa ini ? ”
“Ayah, dia nih jadi orang nyebelin banget deh.”
“Rani ngga boleh ngomong gitu, Chris kan yang nolongin kamu waktu pingsan di Mall. Ayo minta maaf dan sekalian terima kasih karna dia udah nolongin kamu waktu itu.”
“Tapi, Yah …”
“Maharani.”
Kalau Ayah sudah memanggil nama lengkapku berarti sikapku sudah keterlaluan, tapi aku merasa ngga keterlaluan sama orang yang menyebalkan ini. Tapi untuk cari amannya akhirnya aku minta maaf dan mengucapkan terima kasih karna telah menolongku saat di Mall. “Maaf ya, dan juga Ran mau ngucapin terima kasih karna udah nolongin Rani.”
“Iya, sama-sama.”
“Nah gitu dong, damai itu indah kan ? Yaudah kita sekarang ke dek kapal aja yuk, disana Pak Suseno lagi buat barbeqiu loh. Chris juga suka barbeqiu kan, sama kayak Rani.”
Akhirnya aku hanya mengikuti Ayah dan Bunda dengan pasrah, saat aku menengok kebelakang kulihat Chris menertawakanku. Kulirik kedepan, ternyata Ayah dan Bunda sudah berjalan jauh di depan. “Ngapain lo ketawa ? Apa yang lucu ? Lo ngeledek gue ya ?”
“Geer banget lo jadi orang.”
“Lo …”
“Chris, Ran … cepetan kesini ! Dagingnya udah mateng loh.”
“Awas lo ya.”
Ancamku sebelum pergi menyusul Ayah dan Bundaku. Ketika aku menghampiri mereka, tercium harum daging panggang yang membuat perutku bikin konser. Maklum aku kan belum makan dari pagi.

~***~

Sebenarnya aku sedikit tertarik dengan anak tetangga baruku itu. Wajahnya yang manis, matanya yang sayu, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang halus dan indah, pokoknya gadis ini memiliki bentuk yang mendekati kesempurnaan. Kata papa dia sengaja pindah kesini karna ada masalah di Palembang. Aku sempet ngga percaya dengan cerita papa tentang problematika, Maharani, anak tetangga baruku itu. Wajah cantik yang terlihat polos itu benar-benar menyembunyikan kejelekannya, aku tidak percaya anak sepintar itu bisa hamil diluar nikah. Bahkan dia nekat kabur untuk bersama dengan pacarnya, sampai kecelakaan itu terjadi, kecelakaan yang merenggut pacar dan bayinya itu. Untuk menenangkan Rani, ayahnya sengaja membawa dia pergi meninggalkan Palembang dan pindah ke Bandung. Ternyata memiliki otak yang pintar dan cerdas, tidak membuatnya luput dari kesalahan.
Sekarang keluargaku sedang berlibur bareng dengan keluarga dia. Entah kenapa, sejak pertama bertemu dengan dia, aku jadi pengen ngisengin dia terus ya ? Padahal aku bukan orang yang suka ngisengin orang loh.
“Wah, harum banget. Jadi pengen makan nih.”
“Nih bagian kamu.”
“Makasih ya, Ma.”
“Rani, ini buat kamu.”
“Makasih ya, Tan. Aku mau makan di belakang ya.”
“Rani mau kemana sih ?”
“Dia mau menawarkan makanan itu sama Ravi dulu.”
“Ravi …”
“Oh, ya udah kita terusin aja deh. Nanti dia juga balik lagi kesini.”
Aku termenung, begitu setianya dia dengan kekasihnya. Dia pasti sedang menangis sekarang, dan mungkin saat ini dia butuh teman bicara.
Byurrrrr …………
“Suara apa itu ?”
“Ayah, Ran terjatuh ke laut. Cepat tolong dia, Yah.”
“Iya, ayah loncat sekarang juga.”
“Jangan, lebih baik Om puter arah kapal …”
Byurrrrr …………
Begitu mendengarnya terjatuh, entah kenapa aku refleks ingin menyelamatkan dia. Tanpa pikir panjang aku lalu terjun kelaut dan berusaha berenang kearahnya. Saat aku berhasil menangkap tubuhnya, dia sudah lemas karna terlalu banyak menelen air laut. Kapal sedang menuju kesini, entah berapa jauh aku berenang yang aku tahu aku harus cepat menolong jiwanya.
“Rani, bangun nak. Ini Bunda.”
“Dia pingsan karna terlalu banyak meminum air.”
“Bagaimana ini, Yah.”
“Bunda jangan diam aja, cepat ambil obat dan selimut.”
“Ngga usah … Maaf ya Om, Tante, ……”
“Maaf untuk apa …”
Aku tidak sempat menjawab pertanyaan ibunya, karna aku langsung menempelkan bibirku pada bibirnya untuk memberikan nafas buatan. Bibirnya dingin. Saat aku menciumnya ada perasaan aneh merasuki hatiku.
“Uhuk … uhuk …”
“Ayah, Rani sudah sadar. Kamu ngga apa-apakan, Nak ?”
“Bunda … dingin …”
“Chris, tolong angkat Rani kekamarnya ya !”
“Baik, Om.” Rani memelukku sangat erat. Aku jadi penasaran, apakah kalau dia sadar akan memelukku seerat ini.
“Bunda siapin air panas, ya ?”
“Iya baik, Yah.”
“Maaf sudah merusak acara barbeqiunya !”
“Ah … tidak apa-apa, yang penting Rani selamat.”
“Untunglah ada kamu Chris, karna Om pasti sudah ngga kuat berenang sejauh itu.”
“Sama-sama Om, saya juga senang bisa menolong Rani.”
“Kamu seneng bisa nolong, apa seneng bisa nyium ?”
Kuharap pipiku tidak memerah, “Ah … papa ini. Jangan didengerin Om. Papa emang suka bercanda, lagian tadi aku memberikan nafas buatan bukan ciuman.”
“Bener juga ngga apa-apa kok.”
“Ah Om ini bisa aja.”
“Bunda, bagaimana keadaan Rani ?”
“Sudah baikan, sekarang dia sedang tidur. Tante berterimakasih banget sama kamu, karna kamu mau nolongin anak kami satu-satunya. Entah apa yang terjadi sama tante kalau ada apa-apa sama Rani.”
“Tante, ngga usah begitu. Emang udah kewajibanku untuk me …” Belum selesai aku berbicara, kata-kataku sudah diteruskan olehpapaku.
“Mencium Rani ?”Ledek Pak Suseno.
“Papa nih, maksudku menolong.”
“Yah menurut tante sih ngga apa-apa, itung-itung sebagai imbalan telah menyelamatkan Rani.”
“Kalian semua ini seneng banget ngeledek aku sih, udah ah aku mau keatas aja.”
Aku lega akhirnya kamu bisa selamat, Rani. Ngga cuma tante doang yang mencemaskan Rani, aku juga cemas banget. Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu tahu aku pernah mencium kamu ya ?

~***~

Kepalaku pening dan tubuhku terasa berat. Apa yang telah terjadi padaku, aku berusaha mengingatnya. Yang aku ingat saat aku berjalan ke arah belakang kapal, kakiku terpeleset sehingga aku terjatuh ke laut, selebihnya aku sudah tidak ingat lagi.
“Sayang, kamu udah bangun. Bunda dan ayah sangat mencemaskan kamu loh.”
“Emang Rani kenapa bunda ?”
“Pake nanya lagi. Kamu itu tercebur ke laut. Untung ada Chris yang nyelametin kamu, kalo ngga Bunda udah ngga tau apa yang terjadi sama kamu sekarang.” Bunda mulai terisak sambil memelukku.
“Jadi Chris nyelametin Rani lagi ?”
“Iya, kamu harus berterima kasih sama dia.”
“Iya bunda, nanti Rani akan berterima kasih sama dia karna telah menyelamatkan Rani untuk yang kedua kalinya.”
“Bagaimana perasaanmu saat ini Ran ?”
“Udah baikan kok, bunda ngga usah cemas lagi deh.”
“Cuma itu doang, ngga ada perasaan yang lainnya ?” tanya bunda penasaran
“Maksud bunda apa sih ? Rani ngga ngerti ?”
“Oh ya udah kalo ngga inget.” Senyum bunda yang jail membuatku penasaran.
“Ngga inget apa sih bunda. Bunda ngelakuin apa pas Rani pingsan tadi ?”
“Kok tanyanya sama bunda, tanyanya ke Chris dong.” Senyum bunda semakin jail
“Ih bunda apaan sih. Ada apa sih sebenernya ? Kasih tau Rani apa yang sebenernya terjadi dong ?” pintaku manja
“Udah ah kalo mau tau tanya aja sama orangnya. Bunda pergi dulu ya. Ayahmu udah manggil bunda tuh.”
Aku jadi bingung apa sih yang disembunyiin bunda dari aku. Pas tadi aku pingsan, aku sempat mimpi dicium oleh pangeran tampan yang mukanya mirip sekali sama Ravi. Tapi dia bukan Ravi, dia malah sangat menyerupai wajah seseorang yang aku kenal. Tapi rasanya dia ngga akan mungkin nyium aku. Tapi apa hubungannya perasaanku sama kejadian barusan. Aku kan Cuma tercebur ke laut lalu ditolong oleh Chris … ya ampun … Jangan-jangan bunda mau bilang sesuatu yang seperti dalam mimpiku. Seseorang telah menciumku, dan orang itu adalah Chris. Aduh aku malu banget kalo gitu. Gimana aku bisa bilang terima kasih kalo aku selalu mengingat ciumannya itu. Bagaimana tampangnya saat tahu aku sangat memikirkan ciumannya itu. Pasti dia akan kegeeran banget deh.

~ *** ~

Walaupun aku malu, tapi aku tetap menghampirinya untuk berterima kasih. Wajahnya saat itu terlihat begitu tampan, dia sedang memandangi sekaligus mengagumi keindahan yang sedang menghampar di hadapannya.
“Hai… Rani kesini mau berterima kasih sama kamu karna lagi-lagi kamu nyelametin Rani.”
“Ah apaan sih pake terima kasih segala. Udah kewajibanku untuk menolong orang sesama”
“Tapi tetep aja Rani harus berterima kasih sama kamu.”
“Kalau begitu, kelakuanku udah ngga minus lagi kan ?”
“Gimana ya, tapi tetep aja kelakuan kamu waktu itu minus.”
“Ya deh, aku mau rubah sikapku itu.”
“Nah gitu dong, jadi sikap kamu yang Rani tahu ngga ada yang minus. Tapi Rani ngga tahu loh sikap kamu yang lainnya, siapa tahu ada yang lebih minus. Rani akan cari terus loh, hati-hati aja ya !”
“Dasar kamu …”
Lalu mereka tertawa-tawa tanpa ada beban dan rasa malu apalagi rasa canggung.
Orang tua mereka yang melihat semua itu menjadi tersenyum.
“Saya baru sekarang melihat Rani tertawa selepas itu setelah kematian Ravi.”
“Iya saya juga berharap Rani bisa mencairkan kebekuan dihati anak saya.”
“Maksudnya bagaimana ?”
“Saya selalu cemas sama Chris. Setelah kepergian ibu kandungnya, Chris seperti tertutup pada orang lain terutama pada wanita. Tapi, akhirnya saya lega. Ternyata hatinya sudah mulai mencair.” Ucap pak Suseno lirih
“Mama juga merasa bersalah sama Chris, pah. Mama kira Chris seperti itu karna mama menggantikan posisi mamanya yang sangat dia sayang.”
“Bukan, dia hanya takut kehilangan orang yang sangat dia sayangi lagi nantinya. Dia melihatku begitu hancur saat ditinggalkan ibunya. Tapi dia juga ngga tahu bahwa ada makna dibalik kepergian orang yang kita sayangi.”
“Maklum lah, dia kan masih muda. Masih belum mengerti kondisi kehidupan.”
“Jadi bagaimana kalo kita teruskan rencana kita yang pernah tertunda waktu itu ?”
“Maksudmu menjodohkan kedua anak kita itu ?”
“Iya kamu setuju kan. Rani pernah kehilangan orang yang disayanginya, semoga saja dia bisa mengajarkan Chris tentang makna kehilangan itu sendiri.”
“Tapi kamu tahu kan masa lalu Rani ?”
“Aku tahu. Tapi aku akan menganggap itu hanya sebuah masa lalu. Semua orang pasti memiliki masa lalu, baik atau pun buruk. Manusia kan selalu memiliki kelemahan dan kelebihan, anggap saja itu salah satu kelemahan dari berjuta kelebihan yang dimiliki Rani”
“Kau memang sahabat yang bijaksana.”

Sebulan telah berlalu sejak acara ke Bali. Mulai hari ini aku akan pindah ke Bandung.
“Pagi, yah. Ayah ingat kan, mulai hari ini Rani dah harus ke Bandung soalnya besok Rani udah mulai kuliah. ?”
“Inget dong sayang.”
“Tapi Rani kok ngga lihat ada mobil baru Rani sih, yah ?”
“Kamu ngga usah bawa mobil, Chris pasti siap nganter kamu kemana aja.”
“Ih … ayah apaan sih. Jangan bilang kalau ayah berniat ngejodohin Rani sama Chris deh. Ngga akan berhasil tau.”
“Kenapa ngga ? Kamu suka sama dia kan ?
“Ih ayah … Rani ngga suka kok sama Chris.”
“Ngga suka dikit, tapi suka banget kan ?”
“Ih … ayah.” Aku memukul ayah.
“Muka kamu merah tuh, Rani !”
“Bunda malah ikut-ikutan lagi, bukannya mau belain aku.”
Saat bunda mau menjawab, terdengar ketukan pintu dari depan. Bunda senyum-senyum lalu beranjak untuk membukakan pintu. Sikap bunda barusan sangat mencurigakan, siapa sih yang lagi ditunggu bunda ?
“Ran cepetan, Chris udah datang nih.”
“Chris … mau apa dia kesini ?”
“Ya … jemput kamu dong !”
“Hah …………………”

~ *** ~

Ternyata yang ayah bilang tentang Chris siap nganter kemana aja itu bukan bercanda, jelas aja Chris bakal nganterin aku kemana aja, aku kan ngga dikasih mobil pribadi jadi harus nebeng terus sama Chris. Sebenernya apa maksud ayah dan bunda sih ? Apa mereka serius mau jodohin aku sama Chris. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya apa ? Jodoh-jodohin anak seenaknya. Aku kan bisa nyari cowo sendiri untuk apa dijodoh-jodohin.
“Hei … ada apa sih ? Kok dari tadi kamu bengong aja sih ? Kamu ngga suka bareng sama aku ya ?”
“Bukannya begitu, Rani cuma kesel aja sama ayah. Ayah janji mau beliin mobil buat kuliah, tapi ayah melanggar janji, malah bikin kamu repot lagi.”
“Aku ngga merasa direpotin kok, tujuan kita kan sama.”
“Iya sekarang sih sama, tapi gimana pas kuliah ?”
“Loh, kampus kita sama kan ? Jurusan kita sama lagi.”
“Kamu tuh ya … kalau Rani mau main gimana ?”
“Aku juga ngga keberatan nemenin kamu main kok. Aku bisa main Barbie bahkan aku juga bisa main congklak”
“Kamu kok malah ngeledekin aku sih”
“Siapa yang ngeledekin kamu, geer banget sih kamu.”
Aku mulai memukul-mukul bahunya, tapi tangannga menangkap tanganku. “Aku mau nganterin kamu kemana aja, aku kan udah janji sama ayah kamu untuk jagain kamu di Bandung.”
“Jadi cuma karna udah janji ?”
“Maunya … ?”

~ *** ~
Tok … tok … seseorang mengetuk pintu rumahku. Terlihat kepala Chris muncul dari balik pintu, ternyata rumah ku yang di Bandung itu tetanggaan juga sama rumah Chris.
“Tunggu bentar ya, Chris ! Rani lagi dandan nih .”
Aku keluar kamar sambil memasang pita warna-warni. “Aduh susah banget sih makenya.”
“Ran, pakainya ntar di kampus aja sih.”
“Ngga boleh, harus dipakai dari rumah”
“Kamu tuh nurut banget sih.”
“Kalau ngga nurut nanti Ran dikasih hukuman tau.”
“Siapa juga yang berani ngukum kamu, kan ada aku.”
“Emang kamu jadi apa ?”
“Udah yu berangkat, siang nih.”
“Jawab dulu pertanyaanku.”
“Ngga penting, yang penting aku bisa ngelindungin kamu.”
“Jadi ngga apa-apa pakai di kampus nih ?”
“Ya elah, ngga apa-apa. Ayo cepetan nanti kesiangan.”

Udara pagi membelai wajah Rani, mencoba membawa suasana hati yang buruk dan meninggalkan suasana hati yang baik. Udara yang sangat menyegarkan menemani Rani selama diperjalanan. Pohon-pohon hijau berbaris sepanjang jalan menuju Universitas ITB, pohon-pohon itu begitu rimbun berusaha melindungi pengguna jalan dari teriknya matahari, derasnya hujan, dan membuat suatu keselarasan alam yang begitu indah dan memikat. Bangunan-bangunan berarsitektur lama pun banyak dijumpai di Kota Kembang ini, membuat Rani merasa berada di tahun 70-an. Yang damai tanpa perselisihan persaudaraan, yang sehat tanpa tercemar polusi, dan yang begitu kental keakrabannya. Tidak salah Rani memilih Kota Kembang ini sebagai naungan pendidikannya.
Mobil yang dikendarai Rani mulai berjalan perlahan ketika memasuki sebuah gapura bangunan yang berarsitektur modern. Universitas Unpadj.
“Wah … kampusnya megah banget ya ?”
“Cepet turun, nanti kamu telat loh.”
“Iya-iya, makasih mau nganterin ya.”
“Iya sama-sama.”
Rani langsung lari begitu saja. Saat Chris mau keluar dia melihat pita Rani tergeletak di dash board mobilnya. Bisa kena marah dia. Lebih baik aku susul dia aja dulu. Ternyata benar di gerbang Rani sedang di jegat oleh dua mabim, dua-duanya perempuan. Tiba-tiba timbul ide jail, lebih baik aku liat dulu bagaimana Rani dimarahi baru aku kasih pitanya.
“Mana perlengkapan kamu ?” tanya seorang mabim yang dari tanda pengenalnya bernama Reva.
Sambil memegang rambut dia kebingungan, pasti pitanya tertinggal di mobil Chris. Gimana nih ?
“Heh … kalo ditanya tuh jawab. Kamu tuli ya ?”
“Maaf kak, pita saya ketinggalan di mobil. Saya ambil dulu ya.”
“Eh … enak aja. Kamu akan dapat hukuman dulu baru boleh ambil pita.” cewe itu tersenyum sinis
“Baiklah, apa hukumannya ?” jawabnya pasrah
“Kayaknya sepatu gue kotor nih, karna rambut lo bagus banget, gimana kalo bersiin sepatu gue pake rambut lo aja. Lo mau kan ?” Senyumnya sinisnya semakin tersungging di wajah yang sebenarnya cantik itu.
“Tapi kak … “
“Banyak omong lo, mau ngga ?”
Saat Rani mau melakukan perintah mabim, tiba-tiba tubuhnya direngkuh oleh seseorang. Chris. “Ngga usah lakuin, nih pita kamu.” Sambil menyodorkan dua pasang pita ketangan Rani.
Tapi saat Rani mau mengambil pitanya, Chris memutar tubuhnya sehingga membelakangi Chris, lalu memasangkan pita itu di rambut Rani yang panjang dan halus. “Dia ngga salah, dia bawa pita.”
“Dia siapa lo, Chris ?”
“Penting ya gue jawab ?”
“Penting banget.”
“Dia cewe gue.” Chris ngomong dengan entengnya. Semua mabim yang sedang berdiri di depan gerbang menoleh dengan kagetnya. Reva shock sekali mendengarnya sampai dia kehilangan kata-katanya. Jangankan Reva, aku sendiri aja shock mendengarnya.
“Jangan mentang-mentang dia cewe lo, jadi lo belain dia ya ?”
“Gue ngga belain dia kok, dia emang bawa pita cuma ketinggalan di mobil. Gue juga ngga ngelarang kalian semua ngehukum dia. Asalkan dia emang punya salah, gue terima dia dikerjain kok.”
“Tapi …”
“Untuk semua mabim, setelah ospek berkumpul untuk mendiskusikan hukuman untuk mabim yang melanggar aturan ini.” Ucapnya tegas yang disambut dengan persetujuan anggota mabim lainnya.
“Lo ngga bisa hukum gue karna gue hukum cewe lo, itu ngga adil.”
“Lo udah keterlaluan, Va. Masa anak orang suruh bersiin sepatu lo pake rambutnya. Apakah hukuman itu ada dalam daftar hukuman yang boleh kita berikan sama anak ospek lainnya ?” Tanyanya pada anggota mabim lainnya
“Ngga …” Jawab anggota mabim lainnya kompak.
“Kita udah bikin kesepakatan kan tentang mabim yang melanggar ketentuan akan diberi hukuman ?”
“Iya …” jawab mereka lagi serempak.
Akhirnya Reva lemas dan memandang tajam ke arah Rani lalu ke arah Chris, “Oke gue ngaku salah. Gue terima apapun hukuman yang lo berikan.”
“Nanti gue akan kasih hukuman ke lo, tapi sekarang gue mau nganterin cewe gue dulu. Dah …” Chris pergi sambil memegang tanganku, lebih tepatnya sedang menyeretku. Aku melihat Reva sangat kesal dan mengutuk-ngutuk kehadiranku.
“Kamu apa-apan sih ? Siapa juga cewe kamu ?” Sambil melepaskan tanganku dari tangannya.
“Kalo aku ngga bilang gitu, kamu ngga akan bisa selamat dari dia. Dia itu sadis loh kalo lagi ngerjain ade kelas, kamu mau dikerjain sama dia terus ?” jawabnya enteng.
“Ya … ngga juga sih. Tapi kamu lihat tatapan dia kan ? Tatapannya itu seperti ingin membunuhku tahu. Padahal ini hari pertamaku masuk kampus, bukannya dapat teman Rani malah dapat musuh. Ini semua karna kamu tahu ?” keluhku sambil memandangnya tajam.
“Tenang aja deh, selama semua orang kenal kamu sebagai ceweku, ngga akan ada yang berani gangguin kamu di kampus.” Ucapnya datar, sambil merangkulku.
“Emang kamu siapa sih, kok kamu sangat berpengaruh banget sih di kampus ini ?” tanyaku penasaran.
“Christian Wardhana, saat ini aku menjabat sebagai mahasiswa kedokteran. Aku juga sedang menjabat jadi ketua mabim untuk acara ospek ini. Apa anda ada pertanyaan lain atau sudah cukup jelas ?”
Aku memelototinya tak percaya, “Kenapa kamu ngga bilang kalo kamu punya jabatan penting ? Kata kamu, jabatan kamu ngga penting ?”
“Udah ah, kamu masuk gih ! Kalo kamu telat aku ngga bisa nolongin kamu loh. Walaupun kamu cewe ku, kamu tetap akan dihukum kalau kamu melanggar peraturan.”
“Iya, Rani tahu kok.”
Chris membelai rambutku, “Hati-hati, jangan sampai kamu berurusan sama yang namanya Reva, dia pasti akan mencari-cari kesalahan kamu karna kejadian tadi.”
“Iya, Rani akan hati-hati. Tapi, ada hubungan apa sih kamu sama Reva ? Kok dia marah banget pas kamu bilang Ran ini cewe kamu ?” Pandangku penasaran.
“Udah sana masuk, jangan cerewet. Nanti pulang bareng aku ya ! Kamu tunggu aja di mobil, nih kuncinya.” Dia menyerahkan kunci mobilnya pada Ran.
“Yah … masa nunggu di mobil sih.” Desahku ngga puas.
“Kalo gitu kamu tunggu aku di ruang mabim aja deh !” ucapnya sambil pergi meninggalkanku.
“Hah …” Aku harus gimana nih ? tadi dia bilang aku sebisa mungkin untuk ngga ketemu sama Reva, tapi kalo aku ke ruang mabim, otomatis aku pasti bertemu sama Reva dong.
Aku memasuki ruanganku, disana sudah banyak anak-anak baru seperti aku juga. Mereka semua menggunakan papan nama jenis-jenis penyakit, aku sendiri dapet nama “Cancer” atau kanker. Aku melihat bangku di belakang sudah penuh, hanya bangku depan yang tersisa. Aku duduk di bangku paling depan, disebelahku ada seorang gadis yang mengenakan papan “Tumor”. Gadis itu cantik sekali.
“Hai, kamu anak baru juga ya ?” sapa gadis itu ramah.
“Iya, namaku Maharani tapi biasa dipanggil Rani. Kamu siapa ?”
“Namaku Dewi, Dewi Juliana Utari. Aku murid dari SMA Subang.”
“Kamu murid pindahan, aku juga sama loh. Aku dari Palembang.”
“Wow … jauh sekali kamu pindah ?”
Saat itu 2 mabim cewe dan 1 mabim cowo memasuki ruanganku. Entah aku sedang sial atau apa, yang menjadi salah satu mabim pendampingku adalah Reva. Aku langsung lemes dan ngga bersemangat.
Reva mengambil penghapus papan tuli dan membantingnya ke atas meja. “Ssttt…… Diam, jangan berisik. Kalian itu calon mahasiswa, bukannya anak SMA lagi.”
Serentak ruangan jadi sunyi, “Yang dipanggil namanya, tolong acungkan tangan !” ucap mabim lainnya yang kutahu bernama Sera.
“Amanda …”
“ ………… “
“Dewi …”
“ ………… “
“Maharani … “
Terdengar para mabim itu berbisik-bisik, aku tahu pasti apa yang dibicarakan mereka. Pasti tentang hubunganku dengan Chris. “Oh dia, cantik juga sih.” Ucap mabim cowo yang dari kartu identitasnya bernama Ryan.
Reva menyunggingkan senyum sinisnya, lalu membentak mabim Ryan. “Cakep apanya, lo udah pada buta kali ya. Yang gitu dibilang cantik apalagi yang jelek.”
Dewi menyikut aku, “Kamu punya masalah apa sama dia ? Kok dia jutek banget sama kamu sih ?”
“Aku juga ngga tahu tuh. Mungkin dia sirik dengan kecantikanku.” Ucapku tersenyum.
Saat itu kulihat Chris memasuki ruanganku, dia tidak melihatku. Lebih tepatnya sengaja tidak melihat kearahku. Aku mengerti apa maksudnya.. “Mau apa dia kesini ?” aku bergumam sambil memandangnya.
“Siapa ? Kamu kenal Christian ?”
“Ya … cukup …”
Ruangan langsung sunyi, padahal Chris belum berbicara apa-apa. Dia memiliki charisma tinggi sehingga dia cukup disegani oleh kaum adam dan setengah mati dikagumi oleh kaum hawa. Dia berdiri di depan ruangan, tepat dihadapanku. “Selamat datang di fakultas kedokteran Unpadj, kalian adalah calon mahasiswa kedokteran Unpadj yang setelah ospek akan menjadi mahasiswa kedokteran Unpadj. Sebelum saya melanjutkan, saya akan memberi tanda tangan saya kepada orang yang bisa menyebutkan nama dan jabatan saya disini.” Suaranya terdengar lembut tapi sangat berwibawa.
Aku langsung mengacungkan tanganku, tapi ternyata bukan aku saja yang mengetahui siapa Chris. Ada lima orang selain aku yang mengacungkan tangannya juga.
Chris menunjuk orang-orang yang mengacungkan tangannya barusan, “Tolong kalian kedepan membawa kertas dan pulpen !”
Semua yang tadi ditunjuk maju ke depan membawa kertas dan pulpen. Kami semua disuruh menulis nama dan jabatan Chris di fakultas kedokteran Unpadj.
Chris mengambil kertas yang kami berikan, lalu membuka satu persatu kertas kami. Dia membaca dan mendiskusikannya kepada 3 mabim lainnya. “Tumor, Kanker, dan Jantung, tolong maju ke depan.”
Kami bertiga maju ke depan sesuai perintah Chris. “Kalian akan mendapatkan tanda tangan saya, silahkan mengambil buku tanda tangan kalian.” Suruhnya tegas.
Setelah memberi tanda tangan pada kami bertiga, dia memperkenalkan dirinya. “ Saya Christian Wardhana, usia saya 22 tahun, saat ini saya menjabat sebagai ketua mabim ospek. Dan saya juga menjabat sebagai mahasiswa bedah semester 5. tadi anda kurang menyebutkan jabatan saya yang satu itu.” Jawabnya pada ketiga orang yang tidak mendapatkan tanda tangan Chris.
Aku melihat tatapan Reva yang ingin muntah kehadapanku. Lalu dengan kesal aku membuangmuka dari hadapannya itu sehingga membuat dia tidak hanya ingin muntah tapiu juga sedang berkomat-kamit. Entah apa yang dibacanya, yang jelas tidak mungkin sedang memujiku.

~ *** ~

Jam tanganku sudah menunjukan pukul 17.00 WIB, sudah jam pulang. Aku menghampiri ruang mabim,. Aku ragu-ragu, apa akan memanggil Chris atau tidak. Tapi bosan juga kalau harus menunggu sendirian di mobil. Saat aku mau berbalik aku dipanggil oleh mabim Ryan, “Kamu mau cari Chris, ya ?”
“Iya kak, aku mau manggil Chris tapi ngga enak. Banyak orang.” Ucapku malu-malu
“Ya udah … bentar ya, aku panggilin.”
“Makasih ya kak.”
“Iya sama-sama.”
Ternyata Ryan baik juga yah. Aku mendengar suara Ryan. “Chris, ada cewe cakep tuh nungguin kamu di depan.” goda Ryan. Chris memandang dengan bingung, “Maksud kamu siapa ?”. Ryan tersenyum jail. “Itu tuh, yang bereng kamu tadi pagi.” Ucapnya sambil memegang bahu Chris. “Oh … Ran” ucap Chris dengan cuek. “Uh … Ran mana nih ?” teman-temannya menggoda. “Ran cewe gue, emang kenapa ?” Tantang Chris. “Wah … hati pangeran es kita sudah cair nih ? Kenalin dong sama kita-kita. Manasih yang udah bikin Pangeran Es mencair.” Goda mabim-mabim lainnya.
“Ah, rese lo. Tunggu ya !” Chris keluar menghampiriku lalu mengajakku masuk ke ruang mabim.
Aku gelisah melihat gelagatnya yang satu ini “Kamu mau ngapain ?”
“Aku mau kenalin kamu sama temen-temenku.” Ucapnya datar.
“Hah ………”

Chris melihat mukaku terus cemberut, lalu memelukku, “Kamu kenapa sih ?”
“Kamu kenapa sih … “ ucapku mengikuti ucapannya. “Kenapa … kenapa … aku tuh kesel sama kamu, apa maksud kamu ngenalin aku sama temen-temen kamu. Aku malu tau.”
“Oh ya … ?”
“Kamu tuh … lagian aku bukan cewe kamu.”
“Belum …”
“Apa …?”
“Kamu belum jadi ceweku.”
“Ih geer banget sih, siapa juga yang mau jadi cewe kamu ?”
“Emang kamu ngga mau ?”
“………”
“Kok diem sih, lidah kamu kegigit kucing ?”
“Udahan ah, becandanya !” Aku langsung berdiri berniat meninggalkan Chris.
Chris menarik tanganku hingga aku terduduk kembali kesisinya, “Siapa yang bercanda, aku serius. Kamu mau ngga jadi ceweku ?”
“Kamu apa-apaan sih ? Pulang yuk, aku lapar nih !”
“Kita ngga akan kemana-mana sebelum kamu jawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan apa sih ?”
“Kamu suka ngga sama aku ?”
“Suka sih, tapi ………………………” belum sempat aku meneruskan, Chris lalu memelukku.
“Itu udah cukup, sekarang kamu resmi jadi ceweku.”
Rani lalu berubah menjadi serius, “Tapi ada satu hal yang harus aku sampaikan sama kamu. Kamu perlu tahu ini, karna ini bisa mempengaruhi perasaan kamu juga.”
Pasti dia mau menceritakan tentang Ravi dan bayinya, “Kamu ngga usah cerita apa-apa. Aku udah tahu tahu semua masa lalu kamu termasuk tentang Ravi mantan kamu itu.”
Rani lalu berubah menjadi marah, “Kamu tau darimana ?”
“Dari papa kamu. Dia memberi tahu papaku tentang kamu.”
Rani memnadang wajah Chris berusaha mencari makna dari wajah tampan itu. “Jadi kamu kasihan sama aku ?”
Chris balas menatap Rani. “Awalnya aku memang kasihan sama kamu, tapi lama kelamaan aku jadi suka beneran sama kamu. Jangan menyela pembicaraanku, dengarkan dulu baru kamu komentar.” Ucapnya saat melihat bibirku ingin protes. Aku mengatupkan kembali bibirku dan mendengarkan ceritanya lagi. “Aku baru sadar perasaanku saat kamu tercebur ke laut, tubuhku refleks terjun untuk menolongmu. Bahkan lebih cepat dari pikiranku. Sejak saat itulah aku tahu, aku bukan kasihan pada kamu tapi aku telah jatuh cinta sama kamu.”
Aku ingin menangis mendengar Chris berkata seperti itu. “Aku masih belum bisa menjalin hubungan. Aku masih trauma dengan Ravi.” Isakku tertahan.
Chris memelukku, “Aku tahu itu, aku akan menemani kamu keluar dari bayang-bayang kelam itu. Aku akan berusaha tidak mengulang apa yang salah yang telah dilakukan Ravi, aku juga ngga akan melarang kamu untuk mengingat Ravi asal itu tidak kelewatan.”
Rani tertawa pelan, “Kamu berbicara seperti Ayahku.”
“Kamu sangat cantik kalau tertawa, biarkan aku membuatmu terus tertawa, Ran !”
“Kamu yakin bisa selalu membuatku tertawa ?”
“Aku ngga yakin sih, akan selalu membuat kamu tertawa. Bahkan aku ngga bisa janji untuk tidak membuat kamu menangis.”
“Tuh kan …”
“Biar sunset ini menjadi saksi, biar cahaya kemilau ini mendengar sumpahku. Aku akan berusaha membuatmu selalu tersenyum bahagia dan aku akan berusaha tidak sering membuatmu mengeluarkan cairan bening matamu itu. Maukah kamu menjadi penjaga hatiku ini ?”
Rani hanya bisa memandang dengan terpana, dia tidak menyangka bahwa Chris bisa seromantis ini. Memintaku menjadi kekasihnya dalam balutan cahaya kemilau sore hari dan ditemani sang surya yang akan kembali keperaduannya. “Ya … aku mau menjadi penjaga hatimu.”
Chris lalu merengkuh Rani ke dalam pelukannya.
Rani melepaskan pelukannya, “Tapi ………… “ kata-katanya terputus karna Chris menghalangi bibir Rani dengan bibirnya sehingga dia tidak dapat berkata-kata. Dia hanya bisa memeluk Chris. Chris kekasihnya.

~ *** ~


Rani berdiri diujung tebing … di ujung dunia … pandangannya kosong tanpa beban. Dibalut kemilau sore dia merenung … berdoa … memohon … kehadirat Nya. Andai Ravi masih ada … andai Ravi dapat menemaninya di ujung dunia ini … andai Ravi masih bisa memelukku … Sayangnya semua itu sudah tidak dapat terjadi lagi.
Aku ingin teriak … aku ingin berontak … aku ingin menangis … Mengapa Kau mengambil hatiku ? Mengapa Kau ambil bukti cintaku ? Mengapa tidak Kau ambil nyawaku saja ? Mengapa Kau beri secercah kehidupan baru untukku ? Mengapa Kau memberi cinta yang baru untukku ? Sedangkan aku takut kehilangan cintaku lagi …
“Mengapa ……………” Jeritku putus asa. Tentu saja tidak ada tanggapan, hanya ada gema suaraku yang menyahut. “Jawab aku ! Apa Kau juga akan mengambil lagi cintaku ?” Isakku menggema di seluruh tebing. “5 tahun sudah Ravi meninggalkanku, 5 tahun sudah Chris menemaniku. Tapi rasa hampa itu terus melekati hatiku. Aku takut kehilangan Chris. Aku takkan sanggup lagi kehilangan cintaku …” desahnya perih.
Chris hanya termenung menyaksikan Rani. Menumpahkan kekesalannya di ujung dunia. “Sayang, aku tidak akan meninggalkanmu selama Dia masih mengizinkan kita bersama.”
“Sudahlah … aku sudah belajar untuk mengikhlaskan orang yang kucintai pergi meninggalkanku. Aku hanya merasa perlu melepaskan kegalauan hatiku. Amarahku tadi, agar aku tetap tersenyum setahun kedepan. Amarahku esok, agar aku tetap tersenyum untuk tahun berikutnya. Aku hanya ingin Dia tahu.” Rani memegang jemari Chris dan mengajaknya pergi.

Suasana di aula universitas Unpadj sangat ramai. Semua mahasiswa tegang saling memeluk dan terisak menangis. Semua memegang toga dengan bangga. Disaksikan keluarga, mereka satu persatu menaiki panggung untuk menerima toga kelulusan dari para dosen. Suasana yang diliputi bahagia sekaligus haru, tegang sekaligus senang. Sejak saat inilah aku resmi disebut dr. Maharani.
Suara sayup-sayup terdengar dari mimbar dosen, “Perhatian … saat ini akan diserahkan penghargaan tertinggi yang akan diberikan kepada mahasiswa dengan IP tertinggi 3,85. Kepada saudari Maharani, dimohon kedepan untuk menerima penghargaan.”
Saat aku maju, aku melihat semua mahasiswa memandang kearahku. Termasuk keluargaku dan Chris. 2 tahun lalu Chris lah yang mendapat penghargaan ini, kini aku tahu bagaimana menjadi pusat perhatian itu. Seluruh peserta hening, suara-suara terserap oleh langkah kakiku. Saat aku menjejakkan kakiku di panggung, ada perasaan lain merasuki hatiku, ‘andai Ravi dapat melihatku’ tapi, Chris juga cukup untuk meredam emosiku. Dengan bangga, kuacungkan penghargaan itu pada semua peserta. Mereka bersorak, ada yang menangis bahkan ada yang langsung memelukku.
Chris menghampiriku dan memelukku, “Bagaimana dr. Rani sudah siap untuk meninggalkan kampus ini ?”
“Ya … aku siap.” Jawabku mantap.
Beberapa temanku menghampiri kami, “Denger-denger, abis ini mau langsung meried ya ? Kok ngga undang-undang sih ? Kita-kita kan mau datang ? Bolehkan ?”
“Ya … boleh lah. Nih undangannya.”
“Makasih ya, kita pasti datang ke pesta kamu.”

~ *** ~

Suasana putih membalut penglihatanku, bunda sedang membantu menghiasiku. “Ran, mulai besok kamu bukan hanya miliki kami, tetapi juga milik Chris.”
“Tapi Rani tetap akan mengutamakan ayah dan bunda, kok.”
“Makasih sayang. Berarti kamu jadi dong bayarin ayah dan bunda honeymoon ke Eropa ?”
“Iya … kita honeymoon bareng ke Eropa. Aku udah bilang Chris, kita akan honeymoon bareng dan dia tidak keberatan.”
Ayah memasuki kamarku. Dia tertegun sejenak, “Nak … ayo keluar ! Kasihan penganten laki-lakinya sendirian.”
Dengan didampingi ayah dan bundaku, aku mantap melangkahkan kakiku melewati kamar rias menuju pelaminanku yang telah disinggahi oleh Chris. Fajar tadi aku telah resmi menjadi Ny. Wardhana, saat ini sedang berlangsung pesta pernikahan kami.
“Selamat menempuh hidup baru, nak.” Ucap bunda penuh haru.
“Semoga kebahagiaan selalu menemanimu dan tidak ada lagi kelam seperti dulu.” Doa ayahku menyertai langkahku menuju pelaminanku, langkah menuju kehidupan baruku.




~*** TAMAT ***~


Diperbarui lebih dari satu tahun yang lalu · Komentari · Suka
SAHABAT
Bagikan
26 Februari 2009 jam 14:40
Manusia terlahir ke muka bumi seorang diri
Manusia juga akan kembali bersatu dengan bumi seorang diri
Dalam prosesnya, manusia tak bisa sendiri
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri
Saudara …
Tetangga …
Sahabat …
Teman …
Pacar …
Semua satu ruang lingkup kehidupan
Manusia tidak bisa hidup tanpanya
Begitu juga aku …
Yang tiada pernah berdaya hidup tanpamu
Sahabat …
Aku datang …
Aku pergi …
Banyak mendapat teman baru
Tapi … percayalah …
Kau akan selalu berada di hatiku
… SAHABAT …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar